Pesantren Sebagai Benteng Terakhir Pendidikan Akhlak

Dewasa ini kemerosotan akhlak generasi muda semakin parah. Kasus penganiayaan orang tua terhadap anak atau sebaliknya anak yang durhaka kepada orangtuanya semakin marak terjadi. Salah satu sebab utamanya tentu saja adalah semakin berkurangnya hak dan peran guru dalam pembentukan akhlak.

Banyak guru di sekolah umum atau swasta yang takut memukul muridnya dan orang tua yang melaporkan guru hanya karena ia menjalankan tugas mulia yaitu mengajarkan budi pekerti yang luhur kepada murid-muridnya sebagaimana amanat Piagam Jakarta, “…. mencerdasakan kehidupan bangsa”. Juga amanat Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Namun tidak demikian dengan pesantren sebuah lembaga pendidikan tradisional sudah ada bahkan sebelum negara indonesia merdeka. Corak “bengkel” yang seringkali melekat pada pesantren semakin menghilang. Terlebih dengan berdirinya pesantren-pesantren modern yang selain menekankan pembelajaran pada kitab kuning juga pada bidang-bidang lainnya. Namun tetap yang menjadi nilai paling utama dalam pendidikan di lingkungan pesantren adalah agama dan akhlak.

Dua Nilai Akhlak Utama di Pesantren

Ada banyak nilai-nilai akhlak di lingkungan pesantren namun dua hal berikut adalah yang paling utama:

  1. Mengerjakan kewajiban sebagai hamba Allah

Nilai paling utama yang sering disampaikan oleh para kyai dan ustadz adalah tentang pentingnya seorang hamba mengenal Penciptanya. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ruslan dalam Zubad, “Kewajiban pertama bagi manusia adalah mengenal Tuhannya dengan penuh keyakinan.” Hal ini sangat penting mengingat semua ajaran dalam islam dibangun di atas iman kepada Allah. Barulah setelahnya menunaikan kewajiban yang ada dalam rukun islam.

Gus Baha dalam salah satu kesempatan menjelaskan tentang pentingnya bagi seorang muslim untuk tidak terdekte hukum sosial yaitu berlaku baik kepada yang berbuat baik kepadanya dan berlaku jahat kepada yang jahat kepadanya. Beliau membawakan hadits, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangga.” Muttafaqqun alaih. Seorang muslim seharusnya hanya boleh terdekte oleh firman Allah dan rasul-Nya dengan cara melandaskan semua amal kebaikannya di atas dasar iman. Nilai pertama yang ditumbuhkan di pesantren yaitu tentang bagaimana seorang hamba berakhlak kepada Penciptanya.

  1. Menghormati yang lebih tua dan mengayomi yang muda.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua maka bukan golongan kami. (HR. Abu Daud dan Timidzi)

Yang kedua adalah tentang berakhlak kepada sesama manusia. Di pesantren santri akan disadarkan bahwa sebagai makhluk sosial dia tidak bisa hidup sendirian. Adanya jadwal piket memasak, kebersihan, jaga malam dan sebagainya mengajarkannya tentang pentingnya setiap peran dalam hidup bermasyarakat. Dengan menyadari hal tersebut seorang santri tidak akan lagi menganggap rendah profesi apapun karena dia menyadari tidak ada profesi yang tercela selama tidak merugikan orang lain.

Dari nilai inilah seorang santri menyadari pentingnya berbakti kepada orangtua, menghormati guru, berbuat baik kepada sesama dan mengayomi orang yang berada di bawahnya karena yang memerintahkan itu semua adalah Allah dan rasul-Nya.

Kisah dalam Al-Quran tentang penjagaan Allah

Berkaitan dengan hal ini ada dua kisah dalam Al-Quran yang menarik untuk kita telaah bersama. Yaitu pertama kisah sedih ibu Musa ketika hendak menyelamatkan bayi laki-lakinya dari pembantaian penguasa saat itu yaitu Firaun. Allah berfirman:

}وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ }

 [القصص: 7[

Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkan dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.”QS. Al-Qasash: 7

Kisah yang kedua adalah kisah ibu Maryam dalam surah Ali Imran. Allah berfirman:

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (36)  فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (37)

Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. “Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.”

Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.

Mengomentari kisah yang pertama Syaikh Shalih Al-Maghamisi menyampaikan bahwa jalan paling mudah bagi orang tua agar anaknya selamat dari berbagai macam fitnah adalah dengan menyerahkan penjagaan anaknya kepada Allah. Karena tidak ada penjagaan yang lebih terpercaya dari penjagaan Allah.

Sedangkan dari kisah yang kedua bisa kita ambil dua faidah utama:

  1. Orang tua harus banyak mendoakan anaknya agar Allah senantiasa menjaganya.
  2. Seyogyanya orang tua memilihkan guru agama terbaik bagi buah hatinya sebagaimana Imran memilihkan Nabi Zakariya alaihissalam sebagai guru untuk Maryam. Untuk konteks zaman ini pesantren adalah salah satu opsi terbaik bagi para orangtua agar anaknya selamat dari fitnah dan kerusakan akhlak.

Kasus Pemukulan di Pesantren

            Sudah bukan hal tabu lagi hukuman pukul sering ada di lingkungan pesantren. Namun hal ini berdasar dengan adanya hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat saat usia tujuh tahun dan pukul mereka (jika tidak mau shalat) saat usia sepuluh tahun.”  Artinya sebagai pendidik seorang guru atau kyai dibolehkan memberikan hukuman pukulan kepada santrinya dengan memperhatikan beberapa hal paling utama;

  1. Meniatkan pukulannya untuk mendidik bukan menyakiti atau menyiksa.
  2. Tidak boleh memukul wajah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Apabila salah seorang dari kamu memukul (yaitu mau menegakkan hukum dengan memukul), maka janganlah memukul wajah.” (HR. Abu Dawud)

  1. Tidak boleh sampai menyebabkan cidera.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menerangkan bahwa jika seorang suami terpaksa memukul istri (atau anaknya), hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan sehingga tidak membuat si istri (atau anak) menjauh ataupun dendam kepada suaminya. (Fathul Bari, 9: 377)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata bahwa pukulan tersebut adalah pukulan yang tidak melukai dan mendatangkan perbaikan, bukan mencelakakan. (Liqa Al-Bab Al-Maftuh, 95: 18)

 

  1. Tidak boleh melebihi jumlah minimal had dalam agama yaitu 10 pukulan.

Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam masalah had (dosa besar yang sudah ditentukan kadar hukumannya: rajam, penggal, potong tangan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Selama seorang kyai atau guru memperhatikan hal tersebut dalam memukul santrinya yang melanggar aturan maka syariat islam membolehkan.

Pandangan Kyai Sahal Tentang Pesantren

Kyai Hasan Abdullah Sahal Pengasuh Ponpes Modern Darusalam Gontor tentang pesantren pernah berpesan,

            “Kalau mau punya anak bermental kuat, orangtua-nya harus lebih kuat, punya anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi juga bermanfaat untuk umat, orangtua harus berjuang lebih ikhlas.. ikhlas.. ikhlas.

Anak-anak mu di pondok pesantren gak akan mati karena kelaparan, gak akan bodoh karena gak ikut les ini dan itu, gak akan terbelakang karena gak pegang “gadget”. Insya Allah Anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena sebagaimana janji Allah yang akan menjaga Al-Qur’an..yakin.. yakin..dan harus yakin.”

Terlepas dari kekurangannya, pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan paling tua adalah benteng terakhir pendidikan akhlak generasi mendatang. Para orangtua hendaknya mencontoh sikap ibu Musa. Harus rela bersedih untuk sementara demi kebaikan buah hatinya. Lebih baik menangis karena berpisah dengan anak di pesantren dari pada menangisi anak yang rusak akhlaknya di masa depan. Juga kisah keluarga Imran yang senantisa mendoakan Maryam dan memilihkan guru agama terbaik untuk buah hatinya.